Minggu, 21 November 2010

Kepemimpinan/Leadership2


KEPEMIMPINAN
DALAM KAJIAN BUDAYA SUKU MINAHASA
SULAWESI UTARA
By. Allen Manongko
 PascaUniversitas Brawijaya
Sejarah Minahasa

            Minahasa berasal dari kata "MINAESA" yang berarti persatuan, yang mana zaman dahulu Minahasa dikenal dengan nama "MALESUNG". Menurut penyelidikan dari Wilken dan Graafland bahwa pemukiman nenek moyang orang Minahasa dahulunya di sekitar pegununggan Wulur Mahatus, kemudian berkembang dan berpindah ke Mieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini). Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu :
·         Makarua Siow : para pengatur Ibadah dan Adat
·         Makatelu Pitu : yang mengatur pemerintahan
·         Pasiowan Telu : Rakyat
            Berdasarkan penyelidikan Dr. J.P.G. Riedel, sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa. Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu:
·         Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut
·         Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara
·         Anak suku Toulour : menuju timur (atep)
·         Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besar
            Pada saat itu  belum semua daratan minahasa ditempati, baru sampai di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia. nanti setelah permulaan  abad XV dengan semakin berkembangnya keturunan Toar Lumimuut, dan terjadinya perang dengan Bolaang Mongondow, maka penyebaran penduduk makin meluas keseluruh daerah minahasa. hal ini sejalan dengan perkembangan anak suku sepert anak suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan bantik.
            Di Minahasa sejak dahulu tidak mengenal adanya pemerintahan yang diperintah oleh raja. Yang ada adalah:
·         Walian :Pemimpin agama / adat serta dukun
·         Tonaas : Orang keras, yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi kepala walak
·         Teterusan : Panglima perang
·         Potuasan : Penasehat
            Dengan lembaran Negara  Nomor 64 Tahun 1919, minahasa di jadikan daerah otonom. Pada saat itu minahasa terbagi dalam 16 distrik : distrik tonsea, manado, bantik, maumbi, tondano, touliang, tomohon, sarongsong, tombariri, sonder, kawangkoan, rumoong, tombasian, pineleng, tonsawang, dan tompaso. Tahun 1925, 16 distrik tersebut dirubah menjadi 6 distrik yaitu distrik manado, tonsea, tomohon, kawangkoan, ratahan, dan amurang.
            Sejalan dengan perkembangan otonomi maka tahun 1919, kota Manado yang berada di tanah Minahasa, diberikan pula otonom menjadi Wilayah Kota manado. Kemudian karena kemajuan yang semakin cepat, maka status kecamatan Bitung, berdasarkan Peraturan pemerintah nomor 4 Yahun 1975 Tanggal 10 April 1975 telah ditetapkan menjadi Kota Administratif Bitung, dan selanjutnya pada tahun 1982 ditetapkan menjadi Kota Bitung.
            Dalam rangka untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam rentang kendali penyelenggaraan tugas pemerintahan, pelaksanaan pembangunan serta pembinaan dan pelayanan masyarakat usulan pembentukan kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon diproses bersama-sama dengan 25 calon Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia, dan setelah melalui proses persetujuan DPR-RI, maka Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon ditetapkan menjadi Kabupaten dan Kota Otonom di Indonesia melalui UU Nomor 10 tahun 2003 tertanggal 25 Pebruari 2003. Pada tanggal 21 Nopember 2003 dengan UU Nomor 33 Tahun 2003 , Kabupaten Minahasa Utara ditetapkan  menjadi daerah otonom yang baru.
            Dengan adanya Pemekaran tersebut maka wilayah minahasa menjadi 3 (tiga) Kabupaten (Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara) dan 3 (dua) Kota (Kota Manado, Bitung dan Tomohon)

Pemimpin Minahasa
Ø  Tona'as dan Walian Abad Ke-7
Pemimpin Minahasa jaman tempo dulu terdiri dari dua golongan yakni Walian dan Tona’as. Walian mempunyai asal kata “Wali” yang artinya mengantar jalan bersama dan memberi perlindungan. Golongan ini mengatur upacara agama asli Minahasa hingga disebut golongan Pendeta. Mereka ahli membaca tanta-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan dan matahari dengan patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang tertentu seperti “Kateluan” (bintang tiga), “Tetepi” (Meteor) dan sebagainya untuk menentukan musim menanam. Menghafal urutan silsilah sampai puluhan generasi lalu, menghafal ceritera-ceritera dari leluhur-leluhur Minahasa yang terkenal dimasa lalu. Ahli kerajinan membuat pelaratan rumah tangga seperti menenun kain, mengayam tikar, keranjang, sendok kayu, gayung air.
Golongan kedua adalah golongan Tona’as yang mempunyai kata asal “Ta’as”. Kata ini diambil dari nama pohon kayu yang besar dan tumbuh lurus keatas dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan kayu-kayuan seperti hutan, rumah, senjata tombak, pedang dan panah, perahu. Selain itu golongan Tona’as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-rumah itu dibangun untuk membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka juga yang menjaga keamanan negeri maupun urusan berperang.
Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa berbentuk Matriargat (hukum ke-ibuan). Bentuk ini digambarkan bahwa golongan Walian wanita yang berkuasa untuk menjalankan pemerintahan “Makarua Siouw” (9x2) sama dengan Dewan 18 orang leluhur dari tiga Pakasa’an (Kesatuan Walak-Walak Purba).
Enam leluhur dari Tongkimbut (Tontemboan sekarang) adalah Ramubene, suaminya Mandei, Riwuatan Tinontong (penenun), suaminya Makaliwe berdiam di wilayah yang sekarang Mongondouw, Pinu’puran, suaminya Mangalu’un (Kalu’un sama dengan sembilan gadis penari), Rukul suaminya bernama Suawa berdiam di wilayah yang sekarang Gorontalo, Lawi Wene suaminya Manambe’an (dewa angin barat) Sambe’ang artinya larangan (posan). Maka Roya (penyanyi Mareindeng) suaminya bernama Manawa’ang.
Sedangkan enam leluhur yang berasal dari Tombulu adalah : Katiwi dengan suaminya Rumengan (gunung Mahawu), Katiambilingan dengan suaminya Pinontoan (Gunung Lokon), Winene’an dengan suaminya Manarangsang (Gunung Wawo), Taretinimbang dengan suaminya Makawalang (gunung Masarang), Wowriei dengan suaminya Tingkulengdengan (dewa pembuat rumah, dewa musik kolintang kayu) Pahizangen dengan suaminya Kumiwel ahli penyakit dari Sarangsong.
Sementara itu enam leluhur yang berasal dari Tontewo (wilayah timur Minahasa) terdiri dari Mangatupat dengan suaminya Manalea (dewa angin timur), Poriwuan bersuami Soputan (gunung Soputan), Mongindouan dengan suaminya Winawatan di wilayah Paniki, Inawatan dengan suaminya Kuambong (dewa awan rendah atau kabut), Manambeka (sambeka sama dengan kayu bakar di pantai) dewa angin utara, istrinya tidak diketahui namanya kemudian istri Lolombulan. Pemimpin panglima perang pada jaman pemerintahan golongan Walian adalah anak lelaki Katiwei (istri Rumengan) bernama Totokai yang menikah dengan Warangkiran puteri dari Ambilingan (istri Pinontoan).
Pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa – yang sebelumnya dipegang golongan Walian wanita - beralih ke pemerintahan golongan Tona’as Pria. Mulai dari sini masyarakat Matriargat Minahasa yang tadinya menurut hukum ke-Ibuan berubah menjadi masyarakat Patriargat (hukum ke-Bapaan)., Menjalankan pemerintahan “Makatelu pitu (3x7=21)" atau Dewan 21 orang leluhur pria.
Wakil-wakil dari tiga Pakasa’an Toungkimbut, Toumbulu, Tountowo, mereka adalah ; Kumokomba yang dilantik menjadi Muntu-Untu sebagai pemimpin oleh ketua dewan tua-tua “Potuosan” bernama Kopero dari Tumaratas. Mainalo dari Tounsea sebagai wakil, Siouw Kurur asal Pinaras sebagai penghubung dibantu Rumimbu’uk (Kema) dan Tumewang (Tondano) Marinoya kepala Walian, Mio-Ioh kepala pengadilan dibantu Tamatular (Tomohon) dan Tumilaar (Tounsea), Mamarimbing ahli meramal mendengar bunyi burung, Rumoyong Porong panglima angkatan laut di pulau Lembe, Pangerapan di Pulisan pelayaran perahu, Ponto Mandolang di Pulisan pengurus pelabuhan-pelabuhan, Sumendap di Pulisan pelayaran perahu, Roring Sepang di awaon Tompaso, pengurus upacara-upacara di batu Pinawetengan, Makara’u (Pinamorongan), Pana’aran (Tanawangko), Talumangkun (Kalabat), Makarawung (Amurang), REPI (Lahendong), Pangembatan (Lahendong).
Dalam buku “Toumbulusche Pantheon” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1894 telah dikemukakan tentang sistem dewa-dewa Toumbulu yang ternyata mempunya sistem pemerintahan dewa-dewa seluruh Minahasa dengan jabatan yang ditangani leluhur tersebut. Pemerintahan golongan Tona’as abad ke-tujuh sudah punya satu pimpinan dengan gelar Muntu-Untu yang dijabat secara bergantian oleh ketiga sub-etnis utama Minahasa. Misalnya leluhur Ponto Mandolang mengatur pelabuhan Amurang, Wenang (Manado) Kema dan Bentenan dengan berkedudukan di Tanjung Pulisan. Tiap sub-etnis Minahasa mempunya panglima perangnya sendiri-sendiri tapi panglima perang tertinggi adalah raja karena dilantik dan dapat diganti oleh dewan tua-tua yang disebut “Potuosan”.
Dari nama-nama leluhur wanita Minahasa abad ke-7 seperti Riwuatan asal kata Riwu atau Hiwu artinya alat menenun, Poriwuan asal kata Riwu alat menenun, Raumbene asal kata Wene’ artinya padi, menunjukkan Minahasa abad ke-7 telah mengenal padi dan membuat kain tenun.

Ø  Walian Abad Ke-15
Perdagangan rempah-rempah di Ternate-Tidore oleh pedagang–pedagang berbagai bangsa megakibatkan pelabuhan-pelabuhan di Minahasa menjadi ramai. Bahkan Kaisar Cina-pun, mengirimkan banyak ekspedisi kapal layar Jung ke Malaka, Jawa dan Maluku pada tahun 1292 – 1293. Ekspedisi Cina tersebut dilakukan utuk berperang atau untuk berdagang. Ketika melakukan perdagangan, kapal-kapal layar jung inilah yang membawa keramik porselin ke daerah minahasa. Mereka membawa keramik tersebut untuk ditukarkan dengan beras. Beras yang diperoleh dari Minahasa kemudian dibawa ke Ternate untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Hal itu dilakukan karena raja-raja di Ternate gemar makan nasi, sementara di Ternate sendiri tidak mepunyai tanaman padi. Jalur perdagangan cina ini kemudian diikuti oleh pedagang dari Arab. Salah seorang pedagang asal Arab, Sharif Makdon, pada tahun 1380 melakukan perdagangan dari Ternate, Wenang lalu ke Philippina Selatan. Selain melakukan perdagangan pedagang dari Arab ini melakukan penyebaran agama Islam pada suku Manarouw Mangindanouw. Kemudian jalur ini diikuti para pelaut asal Portugis diantaranya Pedro Alfonso.
Pada tahun 1511, Pedro Alfonso menemukan Ternate, setelah itu armada dagang asal Portugis secara resmi mengirimkan Antonio de Abreu ke Maluku tahun 1512. Pada tahun itu juga Portugis mengirimkan tiga kapal layar ke Manarow (Pulau Manado Tua). Dari pulau tersebut, pedagang asal Portugis melakukan pelayaran dengan menggunakan perahu ke Wenang untuk berunding dengan kepala Walak Ruru Ares. Maksud kedatangan Portugis ke Wenang adalah untuk menyewa sebidang tanah. Tapi keinginan Portugis untuk menyewa tanah di Wenang pupus karena Walak Ruru Ares menolak untuk memberikan tempat bagi mereka. Setelah gagal di Wenang, Protugis kemudian melakukan perjalanan ke Uwuran (Amurang) dan kemudian mendirikan benteng Amurang pada tahun 1512. Ketika tiba didaerah Minahasa (Amurang), Portugis yang saat itu membawa pedagang dan rohaniwan lebih banyak daripada serdadu, belum berani masuk hingga pedalaman. Mereka hanya mampu mendirikan benteng-benteng batu di tepi pantai dan pulau di sekitar Minahasa seperti di Siauw tahun 1518. Walaupun para wanita yang mendiami daerah di tepi pantai sudah banyak yang bersuamikan orang Portugis, tapi masyarakat di daerah pegunungan baru menikah dengan orang-orang kulit putih asal Spanyol pada tahun 1523. Salah satu contoh adalah salah seorang wanita asal Kakaskasen Tomohon bernama Lingkan Wene yang menikah dengan Kapiten spanyol bernama Juan de Avedo. Anak lelaki dari pasangan suami istri ini kemudian diberi nama Mainalo Wula’an karena mempunyai mata bulat bening (Indo Spayol). Perkawinan wanita Minahasa dan pria asal Spanyol ini ternyata tidak disukai Portugis, karena Portugis berasumsi bahwa Spanyol akan menguasai daerah Minahasa. Apalagi ketika itu Spanyol telah mendirikan benteng di Wenang dengan cara menipu Kepala Walak Lolong Lasut menggunakan kulit sapi dari Benggala India yang dibawa Portugis ke Minahasa. Tanah seluas kulit sapi yang dimaksud spanyol adalah tanah seluas tali yang dibuat dari kulit sapi itu. Spanyol kemudian menggunakan orang Mongondouw untuk menduduki benteng Portugis di Amurang pada tahun 1550-an sehinggga akhirnya Spanyol dapat menduduki Minahasa.
Anak Lingkan Wene yang bernama Mainalo Wula’an kemudian dinikahkan dengan gadis asal Tanawangko. Hasil perkawinan mereka membuahkan anak laki-laki yang kemudian dinamakan Mainalo Sarani. Kelak menanjak dewasa, Mainalo Sarani diberi gelar Muntu-Untu sementara istrinya di beri gelar Lingkan Wene. Pada tahun 1630, Muntu-Untu dan Lingkan Wene dibabtis menjadi Kristen oleh Missionaris asal Spanyol dari segi Ordo Fransiscan. Kemudian mereka memperoleh status sebagai Raja Manado.
Bila peran para Walian di Minahasa sebelum abad 15 hanya diketahui dari legenda dan adat kebiasaan, maka pada abad 16 fungsi mereka dapat ditemukan dari surat-surat para Missionaris Portugis dan Spanyol. Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai sikap permusuhan para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris asal Spanyol. Dia juga menulis tentang perbuatan Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar untuk menolak dan melarang para Missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman Minahasa. Dua puluh lima tahun kemudian, surat Pater Juan Yranzo yag ditulis di Manila tahun 1645 menyebutkan tentang pengusiran Spanyol dari tanah Minahasa pada tanggal 10 Agustus 1644. Pengusiran tersebut mengakibatkan terbunuhnya Pater Lorenzo Garalda. Pada hari pertama, 10.000 serdadu Minahasa menangkap 22 orang Spanyol dan membunuh 19 orang. Para Walian Minahasa menghasut masyarakat untuk membunuh semua Missionaris Spanyol. Sayangnya nama-nama Walian Minahasa tersebut tidak disebutkan karena rencana mereka bocor hingga para Missionaris Spanyol sempat mengungsi ke tepi pantai dan berperahu ke Siauw. Dari surat – surat para Missionaris Spanyol jelas terlihat peran Walian golongan agama suku yag jadi motor penggerak peparangan tahun 1644. Tapi dengan terbunuhnya Missionaris Spanyol justru menjadi pupuk penyubur perkembangan Agama Katolik di Minahasa.

Ø  Tona'as Abad Ke-18
Tahun 1645 kepala-kepala walak Minahasa, Umbo (Tonsea), Lonta’an (Kakaskasen), Lumi (Tomohon), Taulu (Wenang), Kalangi (Ares), Posuma (Tombariri), Sawij (Jurubahasa), memakai perahu raja Siauw untuk berlayar ke Ternate. Mereka ingin menjalin kerjasama dengan V.O.C Belanda. Orang–orang Minahasa ini jelas bukan golongan Walian mereka adalah kepala-kepala Walak dan Kepala Walak Minahasa adalah dari golongan Tona'as.
Perjanjian persahabatan Minahasa dengan Belanda terjadi tahun 1679, ketika itu Minahasa diwakili Supit, Lontoh, dan Paat. Perjanjian persahabatan itu kemudian mengalami beberapa kali perubahan yang akhirnya menempatkan Minahasa sebagai penakluk Belanda. Antara tahun 1700 dan 1800, Belanda sudah berperan sebagai “Tuan Besar” di Minahasa. Mereka mengangkat seorang raja Minahasa dengan jabatan Komandan Kapiten Urbanus Puluwang. selanjutnya dia disebut “Bapa Orang Minahasa”. Dia kemudian mengatur perdagangan beras serta pajak dan memecat Kepala walak antara lain Loho (Tomohon ) Agus Karinda (Negeri Baru). Dia juga menyewa serdadu Kora-Kora Ternate untuk membakar Negeri Atep Kapataran di wilayah pemimpin Tondano, Gerrit Wuisang.
Pada tahun 1801, ada kapal perang yang menembaki benteng Belanda di Manado. Setelah diselidiki ternyata kapal perang tersebut milik Inggris. Mengetahui ada konflik antara belanda dan Inggris maka para Walak Minahasa meminta bantuan Inggris untuk mengusir Belanda. Dalam upaya mengusir Belanda, Gerrit Wuisang membeli senapan, mesiu, dan meriam dari Inggris. Memang orang Tondano sejak tahun 1760 sudah tidak mau lagi hadir dalam pertemuan-pertemuan dengan Belanda di Manado dan sejak residen Dur, orang Tondano paling keras melawan Belanda juga tidak mengindahkan aturan-aturan mengenai pajak, wajib militer, dan sistim perdagangan beras yang dikembangkan pihak Belanda. Ketika Residen Dur digantikan Residen Prediger, maka orang Tondano mulai menyiapkan diri untuk berperang melawan belanda. Dipimpin Tewu (Touliang) dan Ma’alengen (Toulimambot), orang Tondano merasa yakin bahwa pemukiman mereka diatas air di muara tepi danau sulit diserang Belanda, tidak seperti pemukiman walak-walak Minahasa lainnya.
Pada tahun 1806, benteng Moraya di Minawanua mulai diperkuat dengan pertahanan parit di darat dan pasukan dengan kekuatan 2000 perahu di tepi danau. Pemimpin Tondano mengikat perjanjian dengan walak-walak Tombulu, Tonsea, Tontemboan, dan Pasan-Ratahan untuk mengirimkan pasukan dan bahan makanan. Pemimpin walak Minahasa lainnya yang membantu antara lain : Andries Lintong (Likupang), Umboh atau Ombuk dan Rondonuwu (Kalabat) Manopo dan Sambuaga (Tomohon), Gerrit Opatia (Bantik), Poluwakan (Tanawangko), Tuyu (Kawangkoan), Walewangko (Sonder), Keincem (Kiawa), Talumepa (Rumoong), Manampiring (Tombasian), Kalito (Manado), Kalalo (Kakas), Mokolengsang (Ratahan) sementara pemimpin pasukan Tondano pada awal peperangan adalah Kilapog, Sarapung dan Korengkeng.
Bulan Mei 1808, Minahasa sudah melarang Belanda pergi ke pegunungan, tapi pada tangal 6 Oktober, Belanda membawa pasukan besar yang terdiri dari serdadu dari Gorontalo, Sangihe, Tidore, Ternate, Jawa, dan Ambon mendirikan tenda-tenda di Tataaran. Tanggal 23 Oktober, Belanda mulai menembaki benteng Moraya Tondano dengan meriam 6 pond. Namun, tidak mereka sangka bahwa akan ada perlawanan dari pihak Tondano. Bahkan, tenda-tenda Belanda di Tataaran mendapat kejutan setelah pasukan berani mati pimpinan Rumapar, Walalangi, Walintukan dan Rumambi menyerang di tengah malam. Pada bulan November, pimpinan utama Belanda Prediger terluka kepalanya akibat terkena tembakan di Tataaran. Dia kemudian digantikan wakilnya Letnan J. Herder. Perang kemudian bertambah panas yang kemudian ditandai dengan perang darat dan perahu. Pada tahun 1809, pemimpin tondano mendatangkan perahu Kora-Kora dengan memotong logistik bahan makanan dari Kakas ke Tondano. Pada tangal 14 April, pasukan Jacob Korompis menyerang tenda-tenda Belanda di Koya. Serangan yang dilakukan malam hari itu, Jacob berhasil merebut amunisi dan senjata milik Belanda.
Tanggal 2 Juni 1809, Belanda melakukan perjanjian dengan kepala-kepala walak Minahsa lainnya. Kemudian pasukan–pasukan yang bukan orang Tondano mulai meninggalkan Benteng Moraya karena bahan makanan mulai berkurang. Dan yang tertinggal adalah pasukan dari Tomohon dan Kalabat. Penulis L. Mangindaan dalam bukunya “Oud Tondano” terbitan tahun 1871 pada halaman 368-369 menulis bahwa setelah Benteng Moraya jadi sunyi, sudah tidak terdengar lagi teriakan-teriakan perang dan bunyi–bunyi letusan senjata. Lalu pada suatu malam, Belanda menyerang Benteng itu dan membakar rata dengan tanah. Serangan itu dilakukan pada malam hari tanggal 4 Agustus dan pagi 5 Agustus 1809. Dalam penyerangn tersebut, Belanda kemudian membumi hanguskan Benteng Morya Tondano. Pada bulan September 1909 (bundel Ternate nomor 1160), Belanda baru mengetahui bahwa pimpinan utama dari perang di Tondano adalah Tewu (Touliang), Lontho (Kamasi-Tomohon), Mamahit (Remboken), Matulandi (Telap) dan Theodorus Lumingkewas (Touliang). Mereka adalah kepala-kepala walak yang disebut “Mayoor” atau Tona’as perang.

Ø  Model kepemimpinan Minahasa
Para pemimpin Minahasa sejak berabad yang lalu mendasarkan keputusannya pada apa musyawarah atau Paesa in Deken (tempat mempersatukan pendapat). Dari nama itu jelas terlihat bahwa seluruh keputusan yang diambil merupakan hasil dari musyawarah.
Sekalipun demikian faktor dominan yang sering menentukan dalam pengambilan keputusan adalah pendapat dari sang pemimpin. Telah menjadi suatu kelaziman bahwa pada setiap akhir pengutaraan pendapatnya, sang pemimpin senantiasa selalu mengatakan: " Dai Kua?" (bukankah begitu?) dan hampir selalu jawaban dari anggota adalah: " Taintu" (memang begitu). Hal tersebut di dasarkan pada pemikiran bahwa pendapat dari pemimpin adalah pendapat dari sebagian besar dari para anggota.
Sudah menjadi ketentuan bahwa semua ketentuan yang di putuskan harus di ikuti walau pun tidak di setujui oleh sebagian anggota. Sanksi atas penolakan dari Paesa in Deken ini sangat berat, yaitu : pengucilan dari masyarakat . Hukuman ini sangat berat sebab tidak seorang pun dari Taranak yang menghiraukan nasib dari terhukum. Bila ia menjadi incaran musuh, ia tidak dapat mengharapkan untuk mendapatkan pertolongan dari siapapun juga. Ketentuan inilah yang merupakan kewibawaan dari pada para kepala/tu'a di Minahasa pada zaman dulu.
Namun, bila pemimpin bertindak tidak sesuai dengan ketentuan adat atau meresahkan masyarakat maka para anggota masyarakat dengan sekuat tenaga akan menjatuhkan mereka. Hal ini telah di demonstrasikan oleh rakyat Minahasa sewaktu menghadapi para kepala Walak. Atas tekanan rakyat, kompeni dengan segala kekuasaannya tunduk dan memberikan persetujuan penggantian kedudukan.
Pada tahun 1679 Padtbrugge menulis:
"Diluar musyawarah resmi yang dipimpin oleh para Ukung adapulah musyawarah musyawarah lain orang orang Minahasa. Dan keputusan keputusan hanya dapat di ambil berdasarkan suara terbanyak, tanpa memperhitungkan perbedaan dan pengecualian para peserta; dalam hal ini mereka tidak akan berubah, dan tidak ada satu kekuatan apapun didunia yang dapat menggeser mereka setapak saja, biarpun hal itu akan merugikan dan membawa kehancuran bagi mereka."
            Yang di maksud adalah musyawarah yang diadakan di luar para Ukung, bila keputusan atau kebijaksanaan para Ukung yang di anggap oleh bagian terbesar anggota masyarakat bertentangan dengan ketentuan ketentuan, adat istiadat yang berlaku. Sumber kekerasan hati mereka untuk mempertahankan keputusan musyawarah adalah keyakinan, bahwa para dewa ada di pihak mereka. Dalam hal demikian para Ukung telah di anggap telah melanggar peraturan para dewa. Keputusan yang mereka ambil, dan yang telah dimeteraikan dengan sumpah, di artikan bahwa sesuatu yang telah diserahkan kepada dewa yang selalu disebut dalam sumpah itu, bukan sekedar memohon pertolongan.
            Dengan demikian sekalipun Paesaan in Deken mengandung benih otoriterisme, dan memberi kesempatan pada seorang pemimpin untuk itu, musyawarah seperti ini (yang di adakan di luar otoritas para Ukung) merupakan peringatan kepada para Ukung untuk tidak menyalahi ketentuan ketentuan adat. Inilah unsur demokrasi yang pernah ada di Minahasa.
            Selain itu di Minahasa tidak pernah ada pewarisan kedudukan seorang kepala, bila seorang Tu'ur in Taranak meninggal dunia para anggota Taranak baik wanita maupun pria yang sudah dewasa, akan mengadakan musyawarah untuk memilih seorang pemimpin baru. Dalam pemilihan yang menjadi sorotan adalah kualitas. Bila ada dua orang yang kualitasnya sama dan sebagai ucapan terima kasih kepada pemimpin itu semasa kepemimpinannya. Itu berarti sang ayah dalam masa kepemimpinannya semasa hidupnya adalah pemimpin yang baik.
Kriteria Kualitas yang di perlukan itu ada tiga ( Pa'eren Telu):
·         Ngaasan - Mempunyai otak; hal mana dia mempunyai keahlian mengurus Taranak atau Ro'ong.
·         Niatean - Mempunyai hati; mempunyai keberanian, ketekunan, keuletan menghadapi segala persoalan, sanggup merasakan apa yang dirasakan oleh angota lain.
·         Mawai - Mempunyai kekuatan dan dapat di andalkan ; seorang yang secara fisik dapat mengatasi keadaan apapun, sanggup menghadapi peperangan .
            Dengan demikian, jelas tidak mudah untuk diakui dan dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat Minahasa di masa lampau. Juga jelas bahwa fungsi pemimpin di Minahasa tidak pernah terjadi karena warisan.
Dr. Riedel menulis:
"Di Minahasa, setiap orang dapat di panggil (dipilih) untuk menjalankan pemerintahan. Sesuai dengan adat istiadat di daerah ini, para Paendon Tua, di pilih oleh para Awu. "
Demikian sekilas kepemimpinan yang ada dalam budaya suku Minahasa.

Daftar Referensi:


1 komentar: